Kenapa Kita Lebih Mudah Mengingat Kesalahan, dan Lupa Hal-Hal Baik?

Ada satpam kantor yang memang dia andalan banget. Bukan cuma karena keramahannya yang konsisten kayak ringtone alarm, tapi juga daya ingatnya yang luar biasa.

Terakhir saya masuk gedung itu mungkin waktu masih work from home season 1. Tapi begitu saya datang lagi, beliau langsung menyapa pakai nama lengkap. Bahkan sempat nyeletuk, “Pak (sebut nama saya) masih parkir di deket pohon mangga, kan, Pak?” -> ini tentu obrolan imajiner, hanya ilustrasi.

Hebatnya lagi, itu bukan cuma ke saya. Setiap orang disapa dengan penuh percaya diri. Seolah dia menyimpan semua nama dan wajah dalam spreadsheet di otaknya. Kalau ada lomba “pegawai dengan RAM terbesar”, beliau bisa masuk nominasi.

Hari ini, saya juga mengalami kejadian serupa. Saat menemani istri ke toko kacamata, pelayannya langsung menyambut saya dengan senyum, lalu berkata, “Bapak yang kacamatanya dulu sempat salah ukuran, ya? Frame titanium … blablah.” Saya langsung bengong. Bahkan dia masih mengingat nama saya (yang susah, tidak ada di nama orang kebanyakan).

Itu kejadian dua tahun lalu, tapi dia masih ingat dengan presisi, merk frame, dan ukuran positif silindris saya berapa (iya, saya sudah tua). Mungkin insiden salah ukuran itu meninggalkan trauma tersendiri. Atau memang memorinya built-in SSD.

Sebuah pertanyaan: kenapa manusia justru lebih gampang mengingat hal-hal yang bikin kesel, malu, atau bahkan sedikit drama? Hal-hal yang seharusnya bisa dilupakan dengan mudah, malah jadi penghuni tetap dalam kepala.

Di suatu kantor, sekali seseorang bikin kesalahan, semua orang langsung memasang label. Misalnya, salah compile source, atau typo salah menulis sapaan di email. Langsung viral internal. Jadi cerita abadi di ruang rapat, dan kalau lagi ngumpul sambil ngopi, suka ada yang nyeletuk, “Eh inget gak, yang waktu itu… ?” -> Ini kejadian dan percakapan bukan di kantor saya #disclaimer

Padahal udah lewat dua tahun, dan orangnya sekarang rajin banget, gak pernah telat, bahkan rela lembur kalau disuruh cuci piring atau madamin kompor dapur sebelah, sekaligus jinakin badut macan. Tapi tetap aja dikenang karena satu kesalahan.

Politik kantor kadang lebih kejam dari netizen. Bukan karena orang jahat, tapi karena otak kita memang cenderung nginget yang ‘aneh’ atau yang bikin emosi.

Hal yang sama terjadi di dunia politik. Seorang tokoh publik bisa punya segudang prestasi, tapi tetap akan dihantui satu foto awkward saat ketiduran di rapat. Atau satu kalimat yang sempat salah ucap. Dan boom—meme-nya abadi. Lebih abadi dari program yang pernah dia buat.

Dalam hubungan pribadi juga tak jauh beda. Pasangan bisa setiap hari menunjukkan kasih sayang, perhatian, bahkan ngalah waktu nonton Netflix. Tapi begitu lupa satu momen penting—seperti ulang tahun atau anniversary—langsung jadi histori kelam yang diungkit berkala. Kadang dalam nada bercanda, kadang dengan tatapan penuh penekanan. #dewasa

Kenangan manusia memang seperti gadget.

Kalau udah nyaman dengan satu merk, susah banget mau pindah ke merk lain. Meski spek baru lebih canggih, tetap aja ngerasa “yang lama tuh paling cocok.” Bahkan kalau rusak, masih berusaha servis, karena secara emosional, udah terlalu attached.

Atau seperti anak kecil dengan bonekanya.

Sudah lusuh, penuh coretan, mata satu copot. Tapi ketika orang tuanya coba ganti dengan boneka baru—walau lebih bersih, lebih lucu, lebih wangi—anak itu tetap marah. Karena yang lama itu punya cerita.

Pun ketika bonekanya mau dicuci sebentar aja, reaksinya bisa seperti kehilangan separuh jiwa.

Begitulah manusia menyimpan kenangan. Yang salah, yang bikin marah, yang bikin malu—justru sering dipeluk erat, seperti boneka usang. Padahal bisa diganti, atau minimal dicuci dulu.

Tapi tidak semua orang seperti itu.

Satpam tadi, pelayan toko kacamata—mereka mengingat bukan karena trauma atau baper, tapi karena memperhatikan. Mereka memilih untuk ingat yang bermanfaat. Yang membangun koneksi. Yang membantu mereka memberikan pelayanan yang lebih baik. Dan itu menurut saya luar biasa.

Mungkin kita semua bisa belajar dari mereka. Bahwa mengingat adalah pilihan. Dan kalau bisa memilih, kenapa tidak simpan yang baik-baik saja?

Karena hidup ini udah cukup penuh notifikasi—jangan ditambah dengan pop-up kenangan menyebalkan yang selalu muncul saat kita lagi tenang-tenangnya liburan atau ngopi.

(credit gambar: sumber dari reddit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *