Judulnya juga terlalu berlebihan. Ditambahi pula dengan too much, yang seharusnya juga tidak perlu. Tapi ya namanya judul, kadang perlu yang namanya terlalu.
Ini berdasarkan kejadian nyata beberapa hari lalu. Kejadian di ajang lomba band musik antar pelajar SMP se-Jabodetabek.
Ada beberapa grup yang memang bagus performancenya. Tapi, di antara yang tampil menawan itu, ada salah satu grup band yang “berlebihan”. Mereka membawakan medley kompilasi lagu daerah, yang kalau ditotal, sepertinya ada atau hampir 10 lagu.
Awalnya bagus, tapi saya kok merasa bosan dan seperti monoton saja musicnya. Karena memang kelamaan. Ternyata, Pak Landi — pelatih grup band anak saya, juga mengatakan hal yang sama. “Kalau kelamaan main lagunya, yang nonton bisa lelah menikmatinya dan jadi bosan!”. Kurang lebih seperti itu.
Benar saja, para juri akhirnya mengurangi skor untuk grup band tadi karena “overtime” dalam aksi di panggung.
Terlepas dari konteks apapun, memang berlebihan itu too much, eh tidak baik. Bulan lalu, ketika shalat Jumat di tengah perjalanan di Jogja, saya menemukan kearifan lokal: pada pesan (tulisan) di dekat tempat sajian sedekah Jumat (nasi bungkus).
Bagi yang roaming, ndobel adalah pelafalan dari kata mendobel artinya (melakukannya) — mengambil nasbungnya dua kali. Ndobel menjadikannya tidak barokah, dalam hal itu. Bisa jadi karena ada orang lain yang juga membutuhkan.